Selasa, 22 Desember 2015

Sikap Kerja dan Kepuasan Kerja

SIKAP PEKERJA DAN KEPUASAN KERJA

Kepuasan kerja mempunyai peranan penting terhadap prestasi kerja karyawan, ketika seorang karyawan merasakan kepuasan dalam bekerja maka karyawan tersebut akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan tugasnya, yang akhirnya akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi perusahaan. Kepuasan kerja mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap produktivitas organisasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketidakpuasan merupakan titik awal dari masalah-masalah yang muncul dalam organisasi seperti kemangkiran, konflik manager-pekerja dan perputaran karyawan. Dari sisi pekerja, ketidakpuasan dapat menyebabkan menurunnya motivasi, menurunnya moril kerja, dan menurunnya tampilan kerja baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.

Kepuasan dapat dirumuskan sebagai respon umum pekerja berupa perilaku yang ditampilkan oleh karyawan sebagai hasil persepsi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya. Seorang pekerja yang masuk dan bergabung dalam suatu organisasi mempunyai seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat dan pengalaman masa lalu yang menyatu dan membentuk suatu harapan yang diharapkan dapat dipenuhi di tempatnya bekerja. Kepuasan kerja ini akan didapat apabila ada kesesuaian antara harapan pekerja dan kenyataan yang didapatkan ditempat bekerja.
Menurut Locke dalam Munandar (2001:350) tenaga kerja yang puas dengan pekerjaannya merasa senang dengan pekerjaannya. Keyakinan bahwa karyawan yang terpuaskan akan lebih produktif daripada karyawan yang tak terpuaskan merupakan suatu ajaran dasar diantara para manajer selama bertahun-tahun (Robbins, 2001:26).

Menurut Strauss dan Sayles dalam Handoko (2001:196) kepuasan kerja juga penting untuk aktualisasi, karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis, dan pada gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan yang seperti ini akan sering melamun, mempunyai semangat kerja yang rendah, cepat lelah dan bosan, emosi tidak stabil, sering absen dan melakukan kesibukan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang harus dilakukan.
Karyawan yang mendapatkan kepuasan kerja biasanya mempunyai catatan kehadiran dan perputaran kerja yang lebih baik, kurang aktif dalam kegiatan serikat karyawan, dan kadang-kadang berprestasi bekerja lebih baik daripada karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja. Oleh karena itu kepuasan kerja mempunyai arti penting baik bagi karyawan maupun perusahaan, terutama karena menciptakan keadaan positif di dalam lingkungan kerja perusahaan. Sedangkan karyawan yang rendah akan kepuasan kerja dapat menimbulkan berbagai dampak negatif seperti mangkir kerja, mogok kerja, kerja lamban, pindah kerja dan kerusakan yang disengaja.
Oleh karena itu sukses tidaknya suatu organisasi sangat tergantung dari kualitas sumber daya manusia yang dimiliki karena sumber daya manusia yang berkualitas adalah sumber daya manusia yang mampu berprestasi maksimal.

A.  TEORI-TEORI KEPUASAN KERJA
Menurut Wexley dan Yukl (1977) teori-teori tentang kepuasan kerja ada tiga macam yang lazim dikenal yaitu:
1.Teori Perbandingan Intrapersonal (Discrepancy Theory)
Kepuasan atau ketidakpuasan yang dirasakan oleh individu merupakan hasil dari perbandingan atau kesenjangan yang dilakukan oleh diri sendiri terhadap berbagai macam hal yang sudah diperolehnya dari pekerjaan dan yang menjadi harapannya. Kepuasan akan dirasakan oleh individu tersebut bila perbedaan atau kesenjangan antara standar pribadi individu dengan apa yang diperoleh dari pekerjaan kecil, sebaliknya ketidakpuasan akan dirasakan oleh individu bila perbedaan atau kesenjangan antara standar pribadi individu dengan apa yang diperoleh dari pekerjaan besar.
2. Teori Keadilan (Equity Theory)
Seseorang akan merasa puas atau tidak puas tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan atau tidak atas suatu situasi. Perasaan equity atau inequity atas suatu situasi diperoleh seseorang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor, maupunditempat lain.
3. Teori Dua – Faktor (Two Factor Theory)
Prinsip dari teori ini adalah bahwa kepuasan dan ketidakpuasan kerja merupakan dua hal yang berbeda. Menurut teori ini, karakteristik pekerjaan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yang satu dinamakan Dissatisfier atau hygiene factors dan yang lain dinamakan satisfier atau motivators.
Satisfier atau motivators adalah faktor-faktor atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari prestasi, pengakuan, wewenang, tanggungjawab dan promosi. Dikatakan tidak adanya kondisi-kondisi ini bukan berarti membuktikan kondisi sangat tidak puas, tetapi kalau ada, akan membentuk motivasi kuat yang menghasilkan prestasi kerja yang baik. Oleh sebab itu faktor ini disebut sebagai pemuas. Hygiene factors adalah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber kepuasan, terdiri dari gaji, insentif, pengawasan, hubungan pribadi, kondisi kerja dan status.

C. PENGUKURAN SIKAP KERJA
Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk mendapatkan hasil kerja yang optimal. Ketika seorang merasakan kepuasan dalam bekerja tentunya ia akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan tugas pekerjaannya. Dengan demikian produktivitas dan hasil kerja karyawan akan meningkat secara optimal.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan pada dasarnya secara praktis dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor yang berasal dari dalam diri dan dibawa oleh setiap karyawan sejak mulai bekerja di tempat pekerjaannya, Sebagai contoh, karyawan yang sudah lama bekerja memiliki kecenderungan lebih puas dibandingkan dengan karyawan yang belum lama bekerja (Doering et al., 1983) Faktor eksentrinsik menyangkut hal-hal yang berasal dari luar diri karyawan, antara lain kondisi fisik lingkungan kerja, interaksinya dengan karyawan lain, sistem penggajian dan sebagainya.
Secara teoritis, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja sangat banyak jumlahnya, seperti gayakepemimpinan, produktivitas kerja, perilaku, locus of control , pemenuhan harapan penggajian dan efektivitas kerja.
☻ Salah satu cara untuk menentukan apakah pekerja puas dengan pekerjaannya atau tidak, ialah dengan membandingkan pekerjaan mereka dengan beberapa pekerjaan ideal tertentu (teori kesenjangan).
☻ Faktor-faktor yang biasanya digunakan untuk mengukur kepuasan kerja seorang pegawai diantaranya :
Ø  isi pekerjaan, penampilan tugas pekerjaan yang aktual dan sebagai kontrol terhadap pekerjaan
Ø  supervise
Ø  organisasi dan manajemen
Ø  kesempatan untuk maju
Ø  gaji dan keuntungan dalam bidang finansial lainnya seperti adanya insentif
Ø  rekan kerja
Ø  kondisi pekerjaan
☻Menurut Job Descriptive Index (JDI) faktor penyebab kepuasan kerja, pengukuran sikap/kepuasan kerja, diantaranya :
1.  bekerja pada tempat yang tepat
2.  pembayaran yang sesuai
3.  organisasi dan manajemen
4.  supervisi pada pekerjaan yang tepat
5.  orang yang berada dalam pekerjaan yang tepat

Job Enrichment

   1.      Pengertian Job Enrichment

Job enrichment merupakan suatu pendekatan untuk merancang kembali pekerjaan guna meningkatkan motivasi instrinsik dan meningkatkan kepuasaan kerja. Pekerja diberikan kekuasaan atas pekerjaannya, mereka dapat membuat pekerjaan mereka menjadi lebih terspesialisir dan sederhana.
Dari hal tersebut pekerja dapat mengembangkan kecakapan yang mereka miliki. Selain itu, job enrichment mampu membuat pekerja menjadi termotivasi agar berhasil dalam mencapai kepuasaan kerja. Sebab dalam job enrichment disini pekerja melakukan pekerjaan dengan kemampuan mereka sendiri.
Namun, tidak semua dapat melakukan job enrichment karena untuk dapat melaksanakan job enrichment pekerja diharapkan memiliki tanggung jawab. Bila mereka tidak mampu melaksanakan tanggung jawab ini tentu semua pekerjaan tidak dapat berjalan baik. Misalnya saja dalam tahapan merancang kembali pekerjaan disini dituntut adanya kreativitas dari pekerja. Agar pekerjaan yang dilakukan dapat terlihat menjadi lebih besar, bervariasi, dan kecakapan lebih luas. Dari situ pekerja juga dapat mengoreksi pekerjaannnya sendiri. Karena dalam job enrichment dituntut kemampuan dari para pekerja sehingga mampu memotivasi secara instrinsik, maka kemungkinan absensi dan perpindahan kerja akan berkurang. Adanya motivasi tersebut membuat pekerja ingin melakukan yang terbaik bagi pekerjaannya.
Contoh : Seorang mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di suatu universitas ia juga dapat membantu anak-anak  dibawah jenjang pendidikannya untuk mengajar anak –anak tersebut dengan cara membuka tempat les atau tempat untuk belajar.

2.      Langkah-Langkah dalam Redesign Pekerjaan Untuk Job Enrichment

a.       Menggabungkan beberapa pekerjaan menjadi satu.
b.      Menjadi lebih besar
c.       Lebih bervariasi
d.      Kecakapan lebih luas
e.       Memberikan modul kerja untuk setiap pekerja.
f.       Memberikan kesempatan pada setiap pekerja untuk dapat bertanggung jawab.
g.      Kesempatan mengatur prosedur kerja sendiri
h.      Memberikan kesempatan pekerja menghubungi kliennya sendiri secara langsung.
i.        Orang – orang yang berhubungan dengan pelaksanaan kerjanya.
j.        Menciptakan sarana – sarana umpan balik.
k.      Pekerja dapat memonitor koreksi diri.

     3.      Manajemen Ilmiah
a.      Pekerjaan disederhanakan secara dispesialisir.
b.      Prosedur pekerjaan yang efisien àditentukan oleh insinyur industry
c.       Para pekerja diberikan instruksi untuk melaksanakan prosedur kerja.
Contoh : tahap perakitan mekanis.

   4.        Pertimbangan-Pertimbangan Dalam Job Enrichment
a.       Jika pekerjaan terspesialisir dan sederhana dirancang kembali untuk memotivasi secara intrinsik pada pekerja, maka kualitas pelaksanaan kerja pekerja akan meningkat.
b.       Absensi – absensi dan perpindahan kerja akan berkurang.
c.       Dimensi inti yang berkaitan dengan motivasi intrinsik & lapangan kerja ( Hackman dan Oldham ), yaitu:
d.      Keragaman ketrampilan (skill variety)
Banyaknya ketrampilan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan. Makin banyak ragam ketrampilan yang digunakan, makin kurang membosankan pekerjaan. Misalnya, seorang salesman diminta untuk memikirkan dan menggunakan cara menjual yang berbeda, display (etalase) yang berbeda, cara yang lebih baik untuk melakukan pencatatan penjualan.
e.       ati diri tugas (task identity)
Tingkat sejauh mana penyelesaian pekerjaan secara keseluruhan dapat dilihat hasilnya dan dapat dikenali sebagai hasil kinerja seseorang. Tugas yang dirasakan sebagai bagian dari pekerjaan yang lebih besar dan yang dirasakan tidak merupakan satu kelengkapan tersendiri menimbulkan rasa tidak puas. Misalnya, seorang salesman diminta untuk membuat catatan tentang penjualan dan konsumen, kemudian mempunyai dan mengatur display sendiri.
c.       Tugas yang penting (task significance)
Tingkat sejauh mana pekerjaan mempunyai dampak yang berarti bagi kehidupan orang lain, baik orang tersebut merupakan rekan sekerja dalam suatu perusahaan yang sama maupun orang lain di lingkungan sekitar. Jika tugas dirasakan penting dan berarti oleh tenaga kerja, maka ia cenderung mempunyai kepuasan kerja. Misalnya, sebuah perusahaan alat-alat rumah tangga ingin mengeluarkan produk panci baru. Para karyawan diberikan tugas untuk mencari kriteria seperti apa panci yang sangat dibutuhkan oleh ibu-ibu masa kini. (tugas tersebut memberikan kepuasan tersendiri bagi karyawan karena hasil kerjanya nanti secara langsung akan memberi manfaat kepada pelanggan)
f.       Otonomi
Tingkat kebebasan pemegang kerja, yang mempunyai pengertian ketidaktergantungan dan keleluasaan yang diperlukan untuk menjadwalkan pekerjaan dan memutuskan prosedur apa yang akan digunakan untuk menyelesaikannya. Pekerjaan yang memberi kebebasan, ketidaktergantungan dan peluang mengambil keputusan akan lebih cepat menimbulkan kepuasan kerja. Misalnya, seorang manager mempercayai salah satu karyawan untuk memperebutkan tender dari klien. Karyawan tersebut menggunakan ide dan caranya sendiri untuk menarik perhatian klien . Karyawan diberi kebebasan untuk mengatur sendiri waktu kerja dan waktu istirahat.
g.      Umpan balik (feed back)
Memberikan informasi kepada para pekerja tentang hasil pekerjaan sehingga para pekerja dapat segera memperbaiki kualitas dan kinerja pekerjaan. Misalnya, dalam menjual produk salesman didorong untuk mencari sendiri informasi, baik dari atasan maupun dari bagian‑bagian lain, mengenai segala hal yang berkaitan dengan jabatannya serta meminta pendapat konsumen tentang barang‑barang yang dijual, pelayanan, dll. 
Jadi kondisi psikologis kritis karyawan yang muncul karena adanya dimensi utama dalam tugas akan mempengaruhi hasil kerja karyawan yang telah termotivasi secara internal. Berhasil atau tidaknya hasil kerja dalam job enrichment tergantung oleh kekuatan kayawan untuk berkembang dan berpikir positif.

Daftar Pustaka
P.Siagian, Sondang, Prof. Dr. MPA.(1988). Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta : Rineka Citra.
Sihotang. A. Drs. M.B.A. (2006).Menejemen Sumber Daya Manusia .Jakarta : PT Pradnya Paramita.
Wirawan, Sarlito. (2005).Psikologi Sosial (Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan).Jakarta :Balai Pustaka.
Sunyoto Munandar, Ashar.(2001).Psikologi Industri dan Organisasi.Jakarta: Universitas Indonesia.

Minggu, 29 November 2015

Motivasi Lanj.

Ditinjau dari etimologinya, “motivasi” berasal dari kata Latin motivus atau motum yang berarti menggerakkan atau memindahkan. Dari asal-usul kata ini, Lorens Bagus, dalam Kamus Filsafat, mengartikan motivasi atau motif sebagai dorongan sadar dari suatu tindakan untuk merumuskan kebutuhan-kebutuhan tertentu manusia. Motivasi memainkan peranan penting dalam menilai tindakan manusia, karena pada motif-motif itulah terkandung arti subyektif dari tindakan tertentu bagi orang tertentu.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan motivasi sebagai “usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendaki atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya”.
Menurut Stephen P. Robbins, motivasi adalah “proses yang ikut menentukan intensitas, arah, dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran”. Tiga kata kunci dalam definisi ini adalah intensitas, arah, dan ketekunan (yang mengandaikan berlangsung lama). Intensitas dimaksudkan seberapa keras seseorang berusaha. Agar dapat menghasilkan kinerja yang baik, intensitas (setinggi apa pun) harus mempunyai arah yang menguntungkan organisasi. Dan akhirnya, intensitas dan arah yang telah dimiliki harus diterapkan secara tekun dan berlangsung lama. Inilah ukuran sejauh mana orang dapat mempertahankan usahanya. Individu yang termotivasi akan tetap bertahan dengan pekerjaannya dalam waktu cukup lama untuk mencapai sasaran mereka. Sebaliknya, seseorang yang tidak termotivasi hanya akan memberikan upaya minimum dalam hal bekerja. Konsep motivasi kiranya merupakan sebuah konsep penting dalam studi tentang kinerja individu dalam organisasi. Dengan kata lain, motivasi merupakan salah satu determinan penting bagi kinerja individual di samping variabel determinan lain misalnya kemampuan orang yang bersangkutan dan atau pengalaman kerja sebelumnya.
Teori Motivasi Abraham Maslow: Hirarki Kebutuhan
Maslow mengembangkan teori tentang bagaimana semua motivasi saling berkaitan. Ia menyebut teorinya sebagai “hirarki kebutuhan”. Kebutuhan ini mempunyai tingkat yang berbeda-beda. Ketika satu tingkat kebutuhan terpenuhi atau mendominasi, orang tidak lagi mendapat motivasi dari kebutuhan tersebut. Selanjutnya orang akan berusaha memenuhi kebutuhan tingkat berikutnya. Maslow membagi tingkat kebutuhan manusia menjadi sebagai berikut:
Kebutuhan fisiologis: kebutuhan yang dasariah, misalnya rasa lapar, haus, tempat berteduh, seks, tidur, oksigen, dan kebutuhan jasmani lainnya.
Kebutuhan akan rasa aman: mencakup antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional.
Kebutuhan sosial: mencakup kebutuhan akan rasa memiliki dan dimiliki, kasih sayang, diterima-baik, dan persahabatan.
Kebutuhan akan penghargaan: mencakup faktor penghormatan internal seperti harga diri, otonomi, dan prestasi; serta faktor eksternal seperti status, pengakuan, dan perhatian.
Kebutuhan akan aktualisasi diri: mencakup hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya.
Maslow menyebut teori Hirarki Kebutuhan-nya sendiri sebagai sintesis atau perpaduan teori yang holistik dinamis. Disebut demikian karena Maslow mendasarkan teorinya dengan mengikuti tradisi fungsional James dan Dewey, yang dipadu dengan unsur-unsur kepercayaan Wertheimer, Goldstein, dan psikologi Gestalt, dan dengan dinamisme Freud, Fromm, Horney, Reich, Jung, dan Adler.
Bagaimana identifikasi atas tiap kebutuhan di atas dan dampaknya terhadap motivasi yang mempengaruhi kinerja individu dalam organisasi akan dijelaskan sebagai berikut:
IDENTIFIKASI HIRARKI KEBUTUHAN DAN APLIKASI MANAJEMEN
1. Kebutuhan Fisiologis
Identifikasi Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan manusia yang paling mendasar untuk mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan akan makanan, minuman, tempat tinggal, seks, tidur, istirahat, dan udara. Seseorang yang mengalami kekurangan makanan, harga diri, dan cinta, pertama-tama akan mencari makanan terlebih dahulu. Bagi orang yang berada dalam keadaan lapar berat dan membahayakan, tak ada minat lain kecuali makanan. Bagi masyarakat sejahtera jenis-jenis kebutuhan ini umumnya telah terpenuhi. Ketika kebutuhan dasar ini terpuaskan, dengan segera kebutuhan-kebutuhan lain (yang lebih tinggi tingkatnya) akan muncul dan mendominasi perilaku manusia.
Tak diragukan lagi bahwa kebutuhan fisiologis ini adalah kebutuhan yang paling kuat dan mendesak. Ini berarti bahwa pada diri manusia yang sangat merasa kekurangan segala-galanya dalam kehidupannya, besar sekali kemungkinan bahwa motivasi yang paling besar ialah kebutuhan fisiologis dan bukan yang lain-lainnya. Dengan kata lain, seorang individu yang melarat kehidupannya, mungkin sekali akan selalu termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan ini.
Aplikasi Manajemen
Pertama-tama harus selalu diingat bahwa bagi orang yang sangat kelaparan, tidak ada perhatian lain kecuali makanan. Seorang pemimpin atau manajer jangan berharap terlalu banyak dari karyawan yang kelaparan. Berbeda dari kebutuhan-kebutuhan tingkat berikutnya, kebutuhan pokok ini hanya bisa dipenuhi oleh pemicu kekurangannya. Rasa lapar hanya dapat dipuaskan dengan makanan. Maslow menggambarkan bahwa bagi manusia yang selalu dan sangat kelaparan atau kehausan. Orang yang cenderung berpikir bahwa seandainya makanannya terjamin sepanjang hidupnya, maka sempurnalah kebahagiaannya, orang seperti itu hanya hidup untuk makan saja. Untuk memotivasi kinerja karyawan seperti ini, tentu saja makanan solusinya. Tunjangan ekstra untuk konsumsi akan lebih menggerakkan semangat kerja orang seperti ini dibandingkan dengan nasehat tentang integritas individu dalam organisasi.
2. Kebutuhan Rasa Aman
Identifikasi Kebutuhan Rasa Aman
Segera setelah kebutuhan dasar terpuaskan, muncullah apa yang digambarkan Maslow sebagai kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan ini menampilkan diri dalam kategori kebutuhan akan kemantapan, perlindungan, kebebasan dari rasa takut, cemas dan kekalutan; kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas, dan sebagainya. Kebutuhan ini dapat kita amati pada seorang anak. Biasanya seorang anak membutuhkan suatu dunia atau lingkungan yang dapat diramalkan. Seorang anak menyukai konsistensi dan kerutinan sampai batas-batas tertentu. Jika hal-hal itu tidak ditemukan maka ia akan menjadi cemas dan merasa tidak aman. Orang yang merasa tidak aman memiliki kebutuhan akan keteraturan dan stabilitas serta akan berusaha keras menghindari hal-hal yang bersifat asing dan tidak diharapkan.
Aplikasi Manajemen
Dalam konteks perilaku kinerja individu dalam organisasi, kebutuhan akan rasa aman menampilkan diri dalam perilaku preferensi individu akan dunia kerja yang adem-ayem, aman, tertib, teramalkan, taat-hukum, teratur, dapat diandalkan, dan di mana tidak terjadi hal-hal yang tak disangka-sangka, kacau, kalut, atau berbahaya. Untuk dapat memotivasi karyawannya, seorang manajer harus memahami apa yang menjadi kebutuhan karyawannya. Bila yang mereka butuhkan adalah rasa aman dalam kerja, kinerja mereka akan termotivasi oleh tawaran keamanan. Pemahaman akan tingkat kebutuhan ini juga dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa karyawan tertentu tidak suka inovasi baru dan cenderung meneruskan apa yang telah berjalan. Atau dipakai untuk memahami mengapa orang tertentu lebih berani menempuh resiko, sedangkan yang lain tidak.
Dalam organisasi, kita seringkali mendapati perilaku individu yang berusaha mencari batas-batas perilaku yang diperkenankan (permisible behavior). Ia menginginkan kebebasan dalam batas tertentu daripada kebebasan yang tanpa batas. Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang batas-batas perilaku yang diterima bagi dirinya sendiri dapat mempunyai perasaan terancam. Agaknya ia akan berupaya untuk menemukan batas-batas seperti itu, sekalipun pada saat-saat tertentu, ia harus berperilaku dengan cara-cara yang tidak dapat diterima. Para manajer dapat mengakomodasi kebutuhan akan rasa aman dalam organisasi dengan jalan membentuk dan memaksakan standar-standar perilaku yang jelas. Penting dicatat juga bahwa perasaan manusia tentang keamanan juga terancam apabila ia merasa tergantung pada pihak lain. Ia merasa bahwa ia akan kehilangan kepastian bila tanpa sengaja melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki. Individu yang berada dalam hubungan dependen seperti itu akan merasa bahwa kebutuhan terbesarnya adalah jaminan dan proteksi.
Belakangan ini marak wacana adanya kemungkinan para karyawan di-PHK karena faktor perkembangan teknologi. Dalam situasi ini, manajer dapat memotivasi karyawan dengan jalan memberikan suatu jaminan kepastian jabatan (job-security-pledge).
3. Kebutuhan Sosial
Identifikasi Kebutuhan Sosial
Setelah terpuaskan kebutuhan akan rasa aman, maka kebutuhan sosial yang mencakup kebutuhan akan rasa memiliki-dimiliki, saling percaya, cinta, dan kasih sayang akan menjadi motivator penting bagi perilaku. Pada tingkat kebutuhan ini, dan belum pernah sebelumnya, orang akan sangat merasakan tiadanya sahabat, kekasih, isteri, suami, atau anak-anak. Ia haus akan relasi yang penuh arti dan penuh kasih dengan orang lain pada umumnya. Ia membutuhkan terutama tempat (peranan) di tengah kelompok atau lingkungannya, dan akan berusaha keras untuk mencapai dan mempertahankannya. Orang di posisi kebutuhan ini bahkan mungkin telah lupa bahwa tatkala masih memuaskan kebutuhan akan makanan, ia pernah meremehkan cinta sebagai hal yang tidak nyata, tidak perlu, dan tidak penting. Sekarang ia akan sangat merasakan perihnya rasa kesepian itu, pengucilan sosial, penolakan, tiadanya keramahan, dan keadaan yang tak menentu.
Aplikasi Manajemen
Individu dalam organisasi menginginkan dirinya tergolong pada kelompok tertentu. Ia ingin berasosiasi dengan rekan lain, diterima, berbagi, dan menerima sikap persahabatan dan afeksi. Walaupun banyak manajer dewasa ini memahami adanya kebutuhan demikian, kadang mereka secara keliru menganggapnya sebagai ancaman bagi organisasi mereka sehingga tindakan-tindakan mereka disesuaikan dengan pandangan demikian. Organisasi atau perusahaan yang terlalu tajam dan jelas membedakan posisi pimpinan dan bawahan seringkali mengabaikan kebutuhan karyawan akan rasa memiliki (sense of belonging). Seharusnya karyawan pada level kebutuhan ini dimotivasi untuk memiliki rasa memiliki atas misi dan visi organisasi dan menyatukan ambisi personal dengan ambisi organisasi. Antara pengembangan pribadi dan organisasi mempunyai hubungan yang hasilnya dirasakan secara timbal balik.
4. Kebutuhan akan Penghargaan
Identifikasi Kebutuhan akan Penghargaan
Menurut Maslow, semua orang dalam masyarakat (kecuali beberapa kasus yang patologis) mempunyai kebutuhan atau menginginkan penilaian terhadap dirinya yang mantap, mempunyai dasar yang kuat, dan biasanya bermutu tinggi, akan rasa hormat diri atau harga diri. Karenanya, Maslow membedakan kebutuhan ini menjadi kebutuhan akan penghargaan secara internal dan eksternal. Yang pertama (internal) mencakup kebutuhan akan harga diri, kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan, dan kebebasan (kemerdekaan). Yang kedua (eksternal) menyangkut penghargaan dari orang lain, prestise, pengakuan, penerimaan, ketenaran, martabat, perhatian, kedudukan, apresiasi atau nama baik. Orang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri. Dengan demikian ia akan lebih berpotensi dan produktif. Sebaliknya harga diri yang kurang akan menyebabkan rasa rendah diri, rasa tidak berdaya, bahkan rasa putus asa serta perilaku yang neurotik. Kebebasan atau kemerdekaan pada tingkat kebutuhan ini adalah kebutuhan akan rasa ketidakterikatan oleh hal-hal yang menghambat perwujudan diri. Kebutuhan ini tidak bisa ditukar dengan sebungkus nasi goreng atau sejumlah uang karena kebutuhan akan hal-hal itu telah terpuaskan.
Aplikasi Manajemen
Tidak jarang ditemukan pekerja di level manajerial memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ternyata tidak selamanya uang dapat memotivasi perilaku individu dalam organisasi. Dari semua indikasi yang terdata, tampaknya organisasi yang menyandarkan peningkatan kinerja karyawan mereka pada aspek finansial, tidak memperoleh hasil yang diharapkan. Benar bahwa uang adalah salah satu alat motivasi yang kuat, tetapi penggunaannya harus disesuaikan dengan persepsi nilai setiap karyawan. Individu tertentu pada saat dan kondisi tertentu barangkali tidak lagi merasakan uang sebagai penggerak kinerja.
Ketimbang uang, individu pada level ini lebih membutuhkan tantangan yang dapat mengeksplorasi potensi dan bakat yang dimilikinya. Tidak mengherankan bahwa sejumlah top manajer tiba-tiba mengundurkan diri ketika merasa tidak ada lagi tantangan dalam perusahaan tempat mereka bekerja. Keinginan atau hasrat kompetitif untuk menonjol atau melampaui orang lain boleh dikatakan sebagai sifat universal manusia. Kebutuhan akan penghargaan ini jika dikelola dengan tepat dapat menimbulkan kinerja organisasi yang luar biasa. Tidak seperti halnya kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih rendah, kebutuhan akan penghargaan ini jarang sekali terpenuhi secara sempurna.
Masalahnya, banyak manajer seringkali lupa atau berpikir banyak kali untuk memberikan pujian dan pengakuan tulus bagi prestasi karyawan, dan sebaliknya tanpa pikir dua kali untuk melemparkan kritik atas pekerjaan buruk bawahannya. Pakar kepemimpinan, William Cohen, mengatakan bahwa jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan yang baik untuk memberikan pengakuan kepada prestasi kerja dalam organisasi. Pengakuan merupakan salah satu motivator manusia yang paling kuat. Psikolog terkenal, B.F. Skinner menambahkan bahwa untuk mendapat motivasi maksimum, orang harus memuji secepat mungkin setelah tampak perilaku yang pantas mendapat pujian. 
5. Kebutuhan akan Aktualisasi Diri
Identifikasi Kebutuhan Aktualisasi Diri
Menurut Maslow, setiap orang harus berkembang sepenuh kemampuannya. Kebutuhan manusia untuk bertumbuh, berkembang, dan menggunakan kemampuannya disebut Maslow sebagai aktualisasi diri. Maslow juga menyebut aktualisasi diri sebagai hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuan sendiri, menjadi apa menurut kemampuan yang dimiliki. Kebutuhan akan aktualisasi diri ini biasanya muncul setelah kebutuhan akan cinta dan akan penghargaan terpuaskan secara memadai.
Kebutuhan akan aktualisasi diri ini merupakan aspek terpenting dalam teori motivasi Maslow. Dewasa ini bahkan sejumlah pemikir menjadikan kebutuhan ini sebagai titik tolak prioritas untuk membina manusia berkepribadian unggul. Belakangan ini muncul gagasan tentang perlunya jembatan antara kemampuan majanerial secara ekonomis dengan kedalaman spiritual. Manajer yang diharapkan adalah pemimpin yang handal tanpa melupakan sisi kerohanian. Dalam konteks ini, piramida kebutuhan Maslow yang berangkat dari titik tolak kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri diputarbalikkan. Dengan demikian perilaku organisme yang diharapkan bukanlah perilaku yang rakus dan terus-menerus mengejar pemuasan kebutuhan, melainkan perilaku yang lebih suka memahami daripada dipahami, memberi daripada menerima. Dalam makalah ini, gagasan aktualisasi diri akan mendapat sorotan lebih luas dan dalam sebelum masuk dalam pembahasan penerapan teori.
Aplikasi Manajemen
Pada tingkat puncak hirarki kebutuhan ini, tidak banyak yang dapat dikatakan tentang bagaimana cara memotivasi individu pada level ini. Bagi orang-orang yang dikatakan telah mencapai kematangan psikologis ini, disiplin diri relatif mudah sebab apa yang ingin mereka lakukan sejalan dengan apa yang mereka yakini benar. Nilai-nilai dan tindakan mereka didasarkan pada apa yang nyata bagi mereka, bukan pada apa yang dikatakan orang lain kepada mereka. Bila pada level kebutuhan sebelumnya, individu biasa dimotivasi oleh kekurangan, orang yang matang ini terutama dimotivasi oleh kebutuhannya untuk mengembangkan serta mengaktualisasikan kemampuan-kemampuan dan kapasitas-kapasitasnya secara penuh. Bahkan menurut Maslow, istilah motivasi kurang tepat lagi untuk diterapkan pada kebanyakan orang yang berada di tahap aktualisasi diri. Mereka itu amat spontan, bersikap wajar, dan apa yang mereka lakukan adalah sekedar untuk mewujudkan diri; sekedar pemenuhan hidup sebagai manusia. Seperti kata Luijpen: Being man is having to be man.

Motivasi Lanj.

1. Teori Harapan
TEORI HARAPAN
Teori harapan (expectancy theory) merupakan salah satu teori yang termasuk dalam teori proses motivasi, teori harapan adalah teori yang dikemukakan oleh Victor H. Vroom (dalam Umar, 2005) yaitu seseorang bekerja atau mengerjakan suatu hal untuk merealisasikan tujuan-tujuannya. Teori harapan diperluas oleh Porter dan Lawler.
Siagian (dalam Nursalam dan Efendi, 2008) menjelaskan inti dari teori yang dikemukakan Vrom yaitu, harapan terletak pada seberapa kuatnya kecenderungan seseorang untuk bertindak dengan bergantung pada harapan bahwa tindakan tersebut akan diikuti oleh suatu hasil tertentu dan terdapat daya tarik pada hasil tersebut bagi orang yang bersangkutan. Teori ini didasarkan pada 3 komponen, yaitu:
  1. Harapan, adalah suatu kesempatan yang disediakan dan akan terjadi karena perilaku.
  2. Nilai, merupakan nilai yang diakibatkan oleh perilaku tertentu. Misalnya nilai positif pada peristiwa terpilihnya seseorang karena memang ingin dipilih, nilai negatif bila seseorang kecewa karena sebenarnya tidak ingin dipilih serta acuh-tak-acuh jika bernilai nol.
  3. Pertautan, yaitu besarnya probabilitas; jika bekerja secara efektif apakah akan terpenuhi keinginan dan kebutuhan tertentu yang diharapkannya.

Implikasi Praktis
Implikasi praktis dari teori harapan, contoh langsung dalam kehidupan pekerjaan misalnya, Athuura adalah seorang Redaktur Pelaksana pada sebuah majalah ternama di Jakarta. Dalam mengatur pekerjaan bawahannya, Athuura membuat urutan pekerjaan yang harus diselesaikan paling lambat saat tanggal deadline, dengan cara membuat tabel to-do list yang ditempel pada dinding ruangan bawahannya. Jadi bawahan Athuura akan memberi tanda centang pada setiap pekerjaan yang sudah diselesaikan. Hal tersebut Athuura lakukan dengan harapan bahwa semua pekerjaan yang harus dilakukan dapat diatur dan dikerjakan sesuai dengan tanggal yang sudah ditentukan. Terbukti, cara yang Athuura lakukan membawa nilai positif karena bawahan Athuura menjadi lebih tertib dalam mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan mereka. Hal tersebut sangat efektif karena keinginan dan kebutuhan yang diharapkan terpenuhi.

TEORI TUJUAN
Dalam teori ini, Edwin Locke mengemukakan kesimpulan bahwa penetapan suatu tujuan tidak hanya berpengaruh terhadap pekerjaan saja, tetapi juga memengaruhi orang tersebut untuk mencari cara yang efektif dalam mengerjakannya, hal tersebut dijabarkan oleh Mangkunegara (dalam, Nursalam dan Efendi, 2008). Kejelasan tujuan yang hendak dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya akan menumbuhkan motivas yang tinggi. Siagian (dalam, Nursalam dan Efendi, 2008) berpendapat bahwa tujuan yang sulit sekalipun apabila ditetapkan sendiri oleh orang yang bersangkutan atau organisasi yang membawahinya akan meningkatkan prestasi, asalkan dapat diterima sebagai tujuan yang pantas dan layak dicapai.
Locke (dalam Ivancevich, Konopaske, dan Matteson, 2007) menyatakan bahwa penetapan tujuan merupakan proses kognitif dari beberapa utilitas praktis. Pandangannya adalah bahwa keinginan dan tujuan individu merupakan determinan perilaku yang utama. Teori penetapan tujuan juga menempatkan penekanan yang spesifik terhadap pentingnya tujuan sadar dalam menjelaskan perilaku yang termotivasi.

Implikasi Praktis
Masih dengan Athuura, majalah yang Athuura “pegang” adalah sebuah majalah digital. Kendala yang saat ini dialami adalah belum banyaknya downloader dari aplikasi untuk membaca majalah digital tersebut. Selain itu banyak downloader yang hanya men-dowload­ namun tidak membuka aplikasi tersebut karena saat aplikasi terbuka bahkan menghapusnya, jalannya aplikasi cenderung lambat dan membuat hp lag. Bagian pemrograman membuat revisi dari aplikasi dengan memperbaiki bugs yang muncul. Dengan tujuan, para downloader tidak akan menghapus aplikasi yang sudah didownload dan membuka aplikasi tersebut setiap tanggal terbitnya majalah. Majalah digital sangat bergantung pada jumlah downloader, jadi semakin banyak downloader akan semakin memotivasi pekerja dan meningkatkan keoptimisan pekerja untuk bertahan dalam perusahaan tersebut. Selain itu, dengan aplikasi yang berjalan dengan baik, pembaca akan semakin tertarik untuk mendownload setiap majalah yang terbit, ditambah lagi dengan konten majalah dan tema yang menarik di setiap edisinya.

Sabtu, 21 November 2015

Motivasi

mellyasari
2pa03 (15513439)


A.  Teori Motivasi

Menurut McClelland (dalam Maryanti & Meinawati, 2007) motivasi sendiri merupakan istilah yang lebih umum, yaitu suatu istilah yang dipergunakan untuk keseluruhan fenomena yang melibatkan tingkah laku individu sebagai hasil suatu rangsang situasi atau motif .

  Teori yang dikembangkan oleh McClelland (dalam Maryanti & Meinawati, 2007) menjelaskan tentang kebutuhan-kebutuhan individu atau ada yang menyebutnya dengan motif motif yang menjadi dasar perilaku, yaitu motif untuk berprestasi, motif untuk berkuasa dan motif untuk berafiliasi.

a.  Motif untuk berprestasi (n-Ach)
Motif yang mendorong seseorang untuk mencapai keberhasilan dalam bersaing dengan suatu ukuran keunggulan, baik berasal dari standar prestasinya di waktu lalu maupun prestasi orang lain. Mereka yang memiliki motivasi berprestasi tinggi lebih menyukai pekerjaan yang memiliki tanggung jawab pribadi, memperoleh umpan balik dan beresiko sedang. Mereka tidak menyukai keberhasilan yang didapatkan secara kebetulan. Tujuan yang ditetapkan oleh mereka juga merupakan tujuan yang tidak terlalu sulit dicapai dan juga tidak terlalu mudah.
b.    Motif untuk berkuasa (n-pow)
Motif yang mendorong seseorang mengambil kendali untuk menguasai atau mempengaruhi orang lain. Orang yang memiliki kebutuhan ini cenderung bertingkah laku otoriter. Dalam memberikan bantuan kepada orang lain, mereka tidak memberikannya secara tulus, keinginan dasarnya adalah agarorang lain menjadi menghormatinya.Pemberian bantuan digunakan untuk menunjukkan kelebihan diri mereka.  Ciri-ciri orang  yang memiliki motif berkuasa tinggi antara lain adalah suka terhadap perubahan status, senang mempengaruhi orang lain, cenderung membantu tanpa diminta, dan terlibat dalam kegiatan sosial yang melambangkan prestise.
c.    Motif untuk berafiliasi (n-aff)
Motif yang mengarahkan tingkah laku seseorang dalam berhubungan dengan orang lain. Yang menjadi tujuan di sini adalah suasana yang penuh dengan keakraban dan keharmonisan. Dengan motif berafiliasi, orang terdorong untuk membentuk, menjaga, atau memperbaiki hubungan baik atau persahabatan dengan orang lain. Mereka lebih menyukai situasi yang kooperatif daripada situasi yang kompetitif dan mereka akan berusaha untuk menghindari konflik. Ciri-ciri mereka dengan motif afiliasi yang tinggi adalah senang berada dalam suasana hubungan yang akrab dengan orang lain, risau bila harus berpisah dengan orang yang sudah kenal baik, dan dalam bekerja melihat dengan siapa mereka bekerja.

 Motivasi berprestasi karyawan tidak hanya karena karyawan yang berprestasi akan mendapatkan insentif, penghargaan dan promosi, tetapi juga akan menimbulkan kepuasan batin karena berhasil melewati tantangan dan rangsangan kreatif dalam pekerjaan itu. Selain itu hal lain yang dirasakan sebagai imbalannya adalah kebanggaan karena telah menuntaskan pekerjaan, menjalin persahabatan dengan mitra kerja, dan dapat membantu mengajari orang lain dalam pekerjaan.

McClelland (dalam Maryanti & Meinawati, 2007) juga mengemukakan bahwa karyawan mempunyai cadangan energi potensial. Bagaimana energi tersebut dilepaskan dan digunakan tergantung pada kekuatan dorongan motivasi seseorang dan situasi, serta peluang yang tersedia. Energi ini akan dimanfaatkan oleh karyawan karena oleh kekuatan motif dan kebutuhan dasar yang terlibat, harapan keberhasilan, nilai insentif yang terlekat pada tujuan. Menurut McClelland, Atkinson, Clark, & Lowell (dalam Maryanti & Meinawati,2007) , motivasi berprestasi merupakan tujuan dari individu agar berhasil dalam persaingan dengan standar tinggi. Individu mungkin akan gagal mencapai tujuan ini, tetapi memungkinkan individu tersebut untuk mengidentifikasikan tujuan yang akan dicapai.

     McClelland mengemukakan bahwa motivasi berprestasi berkaitan dengan hasrat atau keinginan individu untuk melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, bukanlah untuk memperoleh penghargaan sosial atau prestasi melainkan untuk mencapai kepuasan batin dalam dirinya. McClelland juga mengemukakan bahwa orang yang memiliki motivasi yang tinggi akan lebih memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan perbaikan kinerja dan belajar lebih baik. McClelland (dalam Maryanti & Meinawati, 2007) memberikan batasan terhadap motivasi berprestasi sebagai motif untuk mencapai suatu standar pencapaian atau keahlian. Berdasarkan penelitiannya, McClelland berpendapat bahwa untuk menemukan motivasi yang mendasari suatu tingkah laku, cara yang terbaik adalah dengan menganalisa motif yang ada dalam fantasi seseorang karena motivasi tidak dapat dilihat begitu saja dari tingkah laku. Selanjutnya McClelland berpendapat bahwa motivasi berprestasi dapat ditingkatkan dengan jalan latihan-latihan. Jadi motivasi berprestasi ini dapat dikembangkan pada segala tingkatan umur
Adapun karakteristik individu dengan moti-vasi tinggi atau rendah sebagaimana telah dikemukakan oleh Mc.Clelland dan Winter (dalam Maryanti & Meinawati, 2007) ada 6 faktor yang membedakan tingkat motivasi tinggi atau rendahnya seseorang, yaitu:
a.  Tanggung Jawab
Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi merasa bertanggung jawab atas tugas yang dikerjakannya dan tidak akan meninggalkan tugas tersebut sebelum berhasil menyelesaikannya. Sedangkan individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah kurang merasa bertanggung jawab akan tugas yang dikerjakannnya dan cenderung menyalahkan hal-hal di luar dirinya. 
b.  Resiko Pemilihan Tugas
Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan memilih tugas yang memiliki taraf kesulitan sedang. Walaupun tugas tersebut sulit baginya, tetapi orang tersebut akan tetap berusaha menyelesaikan tugas tersebut, dan berani menanggung resiko bila mengalami kegagalan. Sedangkan individu yang memiliki motivasi rendah akan memilih tugas yang sangat mudah, ia yakin akan berhasil dalam mengerjakannya dan apabila mengalami kegagalan ia akan menyalahkan tugas tersebut.
a.  Waktu Penyelesaian Tugas
Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan brusaha menyelesaikan setiap tugasnya dengan waktu secepat mungkin, sedangkan individu dengan motivasi berprestasi rendah kurang berusaha dalam menyelesaikan tugas tersebut dalam waktu yang cepat dan cenderung menunda-nunda waktu penyelesaian.
b.    Umpan Balik
Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi menyukai umpan balik yang diberikan orang lain atas pekerjaan yang telah dilakukannya. Dengan umpan balik atas keberhasilan akan membuat individu memahami efektivitasnya dan akan terdorong untuk meningkatkannya. Sedangkan umpan atas kegagalan akan membuat motivasi untuk memperbaikinya. Individu bermotivasi prestasi rendah kurang menyukai umpan balik karena umpan balik dianggapnya kesalahan yang ia lakukan dan ia akan gagal serta usahanya akan menjadi sia-sia.

a.     Keinginan Menjadi yang Terbaik
Individu dengan motivasi berprestasi tinggi selalu berusaha menunjukkan hasil kerja, mungkin dengan tujuan meraih predikat yang terbaik. Sedangkan individu dengan motivasi berprestasi rendah menjadi yang terbaik bukanlah prioritas utama sehingga mereka kurang berusaha secara maksimal.
b.     Kreatif dan Inovatif
Individu yang memiliki motivasi berprestasi berprestasi tinggi cenderung kreatif dan kurang menyukai pekerjaan yang selalu rutin dikerjakan, sedangkan individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah akan memilih tugas yang sudah berstruktur sehingga ia tidak perlu lagi menentukan sendiri bagaimana cara mengerjakannya.
Teori motivasi dua faktor atau Herzberg's Two Factors Motivation Theory menyatakan tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam memotivasi bawahan (dalam Maryanti & Meinawati, 2007) yaitu :

1. Hal-hal yang mendorong karyawan adalah pekerjaan yang menantang mencakup perasaan untuk berprestasi, bertanggung jawab, kemajuan dapat menikmati pekerjaan itu sendiri, dan adanya pengakuan atas pekerjaannya itu.
2. Hal-hal yang mengecewakan karyawan adalah terutama faktor yang bersifat embel-embel saja pada pekerjaan, peraturan pekerjaan, penerangan, istirahat, jabatan, hak, gaji, tunjangan, dll.
3. Karyawan kecewa jika peluang untuk berprestasi terbatas. Mereka akan menjadi sensitif pada lingkungannya serta mulai mencari-cari kesalahan.

Herzberg juga mengatakan bahwa orang dalam melaksanakan pekerjaannya dipengaruhi dua faktor yang merupakan kebutuhan (dalam Maryanti & Meinawati, 2007) yaitu :
a. Maintenance Factor (Hygiene factor)
Adalah faktor-faktor pemeliharaan yang berhubungan dengan hakikat manusia yang ingin memperoleh ketentraman badaniah. Faktor-faktor ini meliputi gaji, kondisi kerja fisik, kepastian pekerjaan, supervisi yang menyenangkan, tunjangan, dll. Hilangnya faktor-faktor ini akan menyebabkan timbulnya ketidakpuasan dan absennya karyawan, bahkan dapat menyebabkan banyak karyawan yang keluar.

b. Motivation Factor (Satisfier factor)
Adalah faktor motivator yang menyangkut kebutuhan psikologis seseorang yaitu perasaan sempurna dalam melakukan pekerjaan. Faktor motivasi ini berhubungan dengan penghargaan terhadap pribadi yang secara langsung berkaitan dengan pekerjaan, seperti fasilitas yang memadai, penempatan yang tepat, dll. Jika kondisi ini tidak ada, maka tidak akan menimbulkan rasa ketidakpuasan yang berlebihan. Serangkaian faktor ini meliputi prestasi (achievement), pengakuan (recognition), pekerjaan itu sendiri (the work it self), tanggung jawab (responsibility), kemajuan (advancement), dan pengembangan potensi individu (the possibility of growth). Rangkaian ini melukiskan hubungan seseorang dengan apa yang dikerjakannya yakni kandungan pekerjaan pada tugasnya. 
Menurut Herzberg cara terbaik untuk memotivasi karyawan adalah dengan memasukkan unsur tantangan dan kesempatan guna mencapai keberhasilan dalam pekerjaan mereka. Penerapannya dengan pengayaan pekerjaan (job enrichment), yaitu suatu teknik untuk memotivasi yang melibatkan upaya pembentukan kelompok-kelompok kerja natural, pengkombinasian tugas-tugas, & pembinaan hubungan dengan klien. Pengayaan pekerjaan ini merupakan upaya motivator seperti kesempatan untuk berhasil dalam pekerjaan dengan membuat pekerjaan lebih menarik dan lebih menantang.

Maslow (dalam Maryanti & Meinawati,2007) Menyatakan bahwa motivasi manusia bergantung pada pemenuhan susunan hierarkis kebutuhan. Kebutuhan itu menentukan cara bagaimana orang bertingkah laku dan motivasi diri mereka sendiri. Kebutuhan yang lebih rendah harus dipenuhi sebelum bergerak ke arah kebutuhan yang lebih tinggi. Ketika masing-masing kebutuhan dipenuhi, kebutuhan selanjutnya dalam hierarki itu segera timbul. Maslow mencatat lima kategori utama yang dimulai dari kebutuhan tingkat terendah. 
Kebutuhan dasar adalah memenuhi dorongan-dorongan biologis, tingkat kedua mengembangkan kebutuhan untuk bebas dari ancaman fisik dan psikologis. Tingkat ketiga menampung kebutuhan-kebutuhan dicintai dan diterima oleh orang lain. Secara berurutan, ketiga tingkatan yang pertama termasuk kelompok A dan dipandang sebagai kebutuhan akan ketenangan. Maslow percaya bahwa jika kebutuhan-kebutuhan ini tidak dipenuhi, maka seseorang akan gagal berkembang menjadi orang yang sehat baik secara jasmani maupun rohani. Kelompok B merupakan dua tingkatan yang terakhir, yaitu penghargaan dan realisasi yang dikenal sebagai kebutuhan pertumbuhan. Kebutuhan ini harus dipenuhi jika seseorang ingin menumbuhkan dan mengembangkan potensi mereka sepenuhnya.

Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow
a)      Kebutuhan Fisiologi (Dasar) Rasa lapar Haus Mengantuk Sex
b)      Kebutuhan Keamanan (Emosional dan Fisik) Keamanan Perlindungan Kehangatan
c)  Kebutuhan Sosial (Persamaan Kelompok) Kelompok-kelompok pribadi Kegiatan-kegiatan sosial Pengakuan dari pihak lain Cinta
d)  Penghargaan (Diri dan Orang Lain) Kepercayaan diri Prestasi Perhatian Penghargaan Penghormatan
e) Realisasi Diri (Pemenuhan, Kedewasaan, Kearifan) Pertumbuhan Pengembangan pribadi Penyempurnaan

Teori harapan (Expectancy) dikemukakan oleh Victor Vroom (dalam Maryanti & Meinawati, 2007) yang menyatakanbahwa kekuatan yang memotivasi seseorang untuk bekerja giat dalam mengerjakan pekerjaannya tergantung dari hubungan timbal balik antara apa yang ia inginkan dan butuhkan dari hasil pekerjaan itu. Berapa besar ia yakin perusahaannya akan memberikan pemuasan bagi keinginannya sebagai imbalan atas usaha yang dilakukannya itu. Bila keyakinan yang diharapkan cukup besar untuk memperoleh kepuasannya maka ia akan bekerja keras pula. dan sebaliknya 

Menurut Vroom (dalam Maryanti & Meinawati, 2007) faktor dalam memunculkan motivasi kerja individu adalah atasan, isi pekerjaan, gaji, dan kesempatan untuk maju. Faktor atasan adalah bagaimana hubungan yang terjalin dengan atasan berlangsung baik dan mengakui otoritas atasan. Isi pekerjaan adalah bagaimana pekerja mengetahui isi dari uraian pekerjaan yang dikerjakannya dan mengetahui fungsi bagian kerjanya dalam proses rangkaian kerja keseluruhan. Kemudian gaji adalah kesesuaian
antara upah yang diterima dengan pekerjaan atau tugas yang dikerjakannya. Perbandingan upah dengan karyawan lain pada perusahaan berbeda-beda.  Faktor terakhir adalah kesempatan untuk maju, sejauh mana peluang karir yang tersedia bagi dirinya di perusahaan tersebut meliputi perbandingan kesempatan karir dengan rekan kerja lain dan perbandingan peluang kerja di perusahaan lain.
 
Putri Melly Chynthia Blogger Template by Ipietoon Blogger Template
Pink Bow Tie