Rabu, 01 Oktober 2014

Menunggu

“mungkin inilah maksud Tuhan untuk selalu ada  air mata tiap kali kita berbicara tentang masa depan. Kenyataanya memang kita takan pernah satu....”
Namanya Cinta, tapi cinta tidak pernah berpihak padanya. Yang dicinta pergi dan lupa untuk kembali. Semenjak tiga tahun yang lalu, mata huzzlenya tidak pernah memancarkan binar binar kebahagiaan. Ia benar-benar menutup hatinya rapat-rapat. Senyuman memang selalu terkembang seolah menyudutkan pipi merahnya, tetapi kesepian yang selalu bertengger dalam hatinya. Seorang pria dengan mata sipitnya telah mengubah setiap hari Cinta hanya untuk menunggunya. Setiap hari, Cinta selalu datang ketempat terakhir pria berkulit putih itu menjanjikan bertemu dengannya, tetapi sampai detik ini tak pernah ada tanda-tanda kedatangannya.
Sore itu, Cinta datang seperti biasa di sebuah danau kecil dekat sekolahnya dulu. Sesekali Cinta menghentikan napasnya untuk sekedar menghirup udara sore di danau tersebut. “hi bu...” sapa Cinta mengagetkan wanita separuh baya itu
“eh si eneng. Sebentar ibu buatkan minum ya” sapanya balik dengan senyum lembutnya
“masih belum ada kabar ya bu?” mungkin ini adalah pertanyaan kesekian kali yang tak akan pernah bosan ditanyakan olehnya setiap hari pada ibu warung itu.
Sutini, ibu warung itu hanya menggeleng dengan tersenyum iba. Bagaimana tidak, setiap hari gadis ini selalu menunggu seseorang yang kedatangannya tak pernah pasti, seseorang yang entah dimana keberadaanya, atau bahkan seseorang yang mungkin tlah melupakannya. Sambil membawakan minuman, Sutini duduk sembari menghela napas. Sejenak keheningan terasa saat keduanya hanya saling menatap seakan mengerti pembicaraan satu sama lain.
“neng neng.. neng tuh masih umur 18 tahun, neng bisa ko cari yang lebih. Ngapain ngabisin waktu disini” katanya hati-hati takut-takut menyinggung perasaan gadis bertubuh mungil ini
Cinta menoleh dan mendapati Sutini sedang tersenyum iba padanya. “entahlah bu. Apa aku salah kalau aku cuma mau dia sebagai tokoh utama dalam setiap cerita bahagia dan sedihku. Berapa lamapun aku harus menunggu aku yakin, suatu saat dia pasti datang. Walau dia datang bukan untukku”
Pikirnya melayang pada tiga tahun silam dimana cinta masih berpihak padanya. Hari itu, bel pulang berbunyi dan semua anak mulai berhamburan dimana-mana. Entah kenapa hari itu rasanya cinta ingin segera berbaring di kasur kesayangannya. Tak mau kalah dengan temannya yang sudah mulai meninggalkan kelas, Cintapun sibuk membereskan buku-bukunya yang berserakan. Saat mulai memeriksa isi kolong meja, alangkah terkejutnya gadis itu saat ia dapati sebuah kotak berwarna pink di dalam kolong mejanya yang menggantikan buku-buku yang selalu setia ada di kolong meja itu.  “to my one wing’s angel” begitulah tulisan yang tertera diatas kotak itu. Kata-kata yang tertera diatas kotak sangatlah familiar untuk gadis berambut hitam panjang itu.. Ini ga boleh! Segera Cinta mengambil tas dan menghampiri si pengirim kotak tersebut dan brak! “aww” pekiknya sambil mendongak kearah sesuatu yang ditabrak tadi dan “kamu yang ngasih ini?” sontak pertanyaan itu keluar dari mulut mungilnya. Berbagai macam pikiran mulai berkecamuk.
“iya, aku harap kamu suka” ujarnya sambil tersenyum lebar menatap mata huzzle milik gadis ini
Entah listrik berapa volt dalam senyum itu membuat hati seakan tersetrum listrik bertegangan tinggi. Cinta meleleh menyaksikan itu. Ah itu pasti sesaat.
“maaf aku ga bisa nerima ini” ujarnya sok sinis
“loh tapi kenapa? Kamu ga suka ya?”
“gausah banyak tanya” masih dengan nada sinis sambil menaruh paksa kotak itu di genggaman tangannya. Tanpa pikir panjang cinta segera meninggalkan lelaki itu sendiri yang masih berdiri dihadapannya tadi. Cinta berjalan dengan berbagai  pertanyaan besar yang terus berkecamuk dalam pikirnya, “mengapa dia selalu datang dan pergi?. Apa semudah itu dia meninggalkan yang katanya kita adalah malaikat bersayap satu? Setiap hari aku menunggu dia datang tapi tak pernah datang hingga dia datang disaat aku tlah hampir melupakannya. Apa cinta adalah permainan untuknya? Saat bosan ia tinggal pergi dan saat butuh ia kembali. Rasanya percuma menerima cintanya saat dia datang kembali yang toh pada akhirnya dia juga bakal pergi lagi”. Rasanya memeluknya saat ini adalah hal yang ingin gadis ini lakukan, tentunya saat senyum mulai terkembang lagi untuknya. Hanya sia-sia saja mencari rindu disana yang ternyata tidak akan pernah gadis ini temui namanya dalam ruang rindu pria itu. Iya, dialah sosok pria yang selalu mengoyak hatinya dengan semua tingkahnya yang tak pernah Cinta mengerti. Mata sipit yang tak pernah Cinta temui itu baru saja didapati sedang menatapnya yang entah kapan terakhir ia menatapnya lagi.
“cinta...” suara lelaki itu tampak terengah-engah memanggilnya. Rupanya pria ini mengejar Cinta yang bayangnya mulai tak terjamah pandangan. Hal ini, membuat langkah gadis ini terhenti dan menoleh kearah suara tersebut.
“aku mohon cin, terima ini”
“buat apa ini? Bulan lalu, kamu juga beri aku cincin yang katanya kamu janji kamu ga akan pergi terus kamu pergi esok harinya dan ga ada kabar gitu aja. Terus sekarang kamu datang untuk ini? Janji yang sama maksud kamu?”
“aku sayang kamu” katanya lembut seakan tak menghiraukan pertanyaan gadis yang ia cintai ini, ia tau pertanyaanya mengandung tangis yang akan meledak dalam beberapa saat lagi. Mendengarnya membuat seluruh tubuhnya luluh lantak, Cinta tak dapat bergeming lagi hanya jatuh memeluknya erat. “aku takut kamu pergi, itu aja” bisiku lirih.

Dua bulan berlalu, pria itu pergi tanpa kabar, lagi! Seperti biasa dia pergi setelah datang. Dia selalu menyapa Juninya dan enyah di Agustus. Juninya selalu Cinta nanti sebab dalam Juni Cinta selalu percaya dia datang, tapi tak pernah dia memberikan Agustus untuk Cinta hadiahkan untuknya. Dan lucunya, sebelum pria itu seakan enyah ditelan bumi, pria itu mengajak Cinta untuk menemuinya di sebuah Danau dekat sekolah mereka. Sebuah Danau yang telah menumbuhkan benih cinta diataranya. Sebuah Danau yang menyadarkan pria itu bahwa pria itu telah jatuh hati. Dan sebuah note kecil telah tertuju pada Cinta. Sebuah note kecil yang ternyata masih membekas dihati Cinta. Sebuah note yang bertuliskan “if you say that not time for love, so may I to be your time”. Sedari pukul 12.00, Cinta sudah bersiap-siap merias diri, padahal janjinya pukul 04.00 pm. Sesampainya disana, Cinta tak mendapati sosok pria itu sedang menunggunya. Berjam-jam Cinta duduk disebuah warung kecil dekat danau itu, tetapi pria itu tak sedikitpun batang hidungnya terlihat. Hingga jingga telah berganti pekat membuat Cinta menyerah menunggu. Cinta pulang dengan wajah yang tak bersemangat. Mata huzzlenya yang selalu terpancar dibuatnya redup.
Bulan berganti hingga tahun berganti, Cinta hanya diam terbelenggu dalam pikirannya tentang pria tersebut. Cinta terus memaki dirinya bahwa Cinta ingin mencari dia dengan membuang semua rasa egoisnya selama ini. Ya , egois untuk menerimanya kembali, egois karena takut dia pergi lagi. Seharusnya Cinta seperti dia berjuang mempertahankan ini, bukan membuang. Hingga saat Juni yang tak pernah membawanya kembali sampai saat ini.
Hari hampir gelap, Cinta tau, ini waktunya pulang. Walau dewi malam akan segera keluar dari peraduannya, danau ini tidak pernah sepi, selalu ramai sepanjang mata memandang. Lampu taman membuat suasana semakin hidup. Banyak para pengunjung yang justru malah berkunjung diwaktu malam karena pemandangan yang sangat menarik hati. Cinta berpamitan pada Sutini. Dengan hati yang mungkin telah cukup lelah, lagi-lagi Cinta berjalan menuju parkiran dengan wajah yang tertunduk. Seorang pria dengan motor sport berwarna hijau berhenti tepat di depan matanya. Membuat Cinta sejenak menghentikan langkahnya dan mendongak melihatnya. Cinta menunggu, menerawang siapa pria tersebut. Entah kenapa hatinya gusar. Pria itu melepaskan helmnya dan berlalu melewati Cinta yang tengah berdiri mematung tak jauh darinya. Ya, itulah pria yang selalu ia tunggu. Dia telah datang! Dia telah datang, tetapi Cinta malah bingung entah harus berbuat apa.
“Cinta” tiba-tiba saja ada sosok suara yang memanggilnya, mengaburkan semua pikiran yang berkecamuk. Pikiran yang berisi rindu yang tak pernah tersampaikan.
“Disti..”
“Cinta, aku tau semuanya. Cin, boleh aku bicara sesuatu sama kamu?”
“iii....ya. ada apa?” ujarnya gugup. Menyadari bahwa yang berbicara ini tidak lain adalah sepupu dari pria yang dicintainya itu.
“boleh aku minta kamu untuk lupain dia. Biarin dia bahagia. Soal blog itu...” Disti menghentikan bicaranya sesaat. Mencoba mencari kata-kata yang tepat dan Cinta tanpa berkedip berhati-hati mendengarkan setiap kata yang diucapkannya.
“hmm.. kamu pasti udah baca blognya yang berjudul “about love”, itu memang untuk kamu Cinta. Tapi, itu dulu. Aku mohon sama kamu, untuk berhenti mencintai dia, dia udah cukup terluka sama kamu. Kamu pikir selama ini dia datang dan pergi tanpa alasan? Seorang pria, oke yang tentunya kamu tau siapa dia. Yang intinya dengan berbagai cara dia menghasut Leo untuk jauhin kamu. Dan suatu ketika, hari dimana kamu menunggu Leo disini, dia kerumahmu dulu. Kamu tau? Dia bertemu Gilang disana, Gilang bilang kalian akan pergi jalan. Saat itulah Leo bersumpah tidak akan pernah ganggu hubungan kalian. Leo memilih pergi dengan hati yang hancur”
“gilang? Tapi kita ga pernah ada apa-apa”
“ya aku tau, belakangan aku ketemu bu Sutini dan dia menceritakan ini padaku. Tapi percuma, Leo udah bahagia dengan yang lain. Aku mohon sama kamu, tinggalin Leo, biarin dia bahagia!”
Sebuah kata-kata yang membuat jantungnya berdebar semakin keras. Tangisnya pecah dalam keheningan. Rindu yang tlah terjawab setelah sekian lama. Dalam benaknya, ada sebuah untaian yang tak mampu ia utarakan.
Jika kebahagiaannya adalah tidak bersamaku, maka aku rela melepaskannya  untuk dia yang dapat menggores senyum di wajahnya. Bagiku dengan menghitung setiap inci kebahagiaan yang mempu membuat bibir mungilnya tersenyum, kurasa cukup. Buatku, mencintainya seperti punuk yang merindukan bulan. Jika cintaku membuat dia sakit maka biarkan aku mencintainya dari kejauhan, dalam diam, dan dalam lamunanku. Orang bilang mencintainya hanya membuat diri terbelenggu pada masalalu, tetapi bagaimana mungkin melupakan sedang hati masih terpaut. Bukankah dia pernah berjanji bahwa dengan siapapun aku atau dengan siapapun dia, pada akhirnya dia akan memilih aku? Bodoh! Mengapa aku seperti sebuah pisau. Didekatnya aku tajam, sedang jauh darinya tumpul dibuatnya. Hanya kepatahatian saja jika dia menginginkanku. Cukuplah mencintainya dari sini, dalam diam penantianku. Mungkin kini aku menyukai kata-kata seorang sastrawan yang bernama Sapardi Djoko Damono yang menuliskan bahwa “aku ingin mencintaimu dengan sederhana seperti kayu yang tak sempat menyatakannya pada api yang menjadikannya tiada”.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Putri Melly Chynthia Blogger Template by Ipietoon Blogger Template
Pink Bow Tie