“mungkin inilah maksud Tuhan untuk selalu ada air mata tiap kali kita berbicara tentang
masa depan. Kenyataanya memang kita takan pernah satu....”
Namanya Cinta, tapi cinta tidak pernah berpihak padanya.
Yang dicinta pergi dan lupa untuk kembali. Semenjak tiga tahun yang lalu, mata
huzzlenya tidak pernah memancarkan binar binar kebahagiaan. Ia benar-benar
menutup hatinya rapat-rapat. Senyuman memang selalu terkembang seolah
menyudutkan pipi merahnya, tetapi kesepian yang selalu bertengger dalam
hatinya. Seorang pria dengan mata sipitnya telah mengubah setiap hari Cinta
hanya untuk menunggunya. Setiap hari, Cinta selalu datang ketempat terakhir
pria berkulit putih itu menjanjikan bertemu dengannya, tetapi sampai detik ini
tak pernah ada tanda-tanda kedatangannya.
Sore itu, Cinta datang seperti biasa di sebuah danau
kecil dekat sekolahnya dulu. Sesekali Cinta menghentikan napasnya untuk sekedar
menghirup udara sore di danau tersebut. “hi bu...” sapa Cinta mengagetkan
wanita separuh baya itu
“eh si eneng. Sebentar ibu buatkan minum ya” sapanya
balik dengan senyum lembutnya
“masih belum ada kabar ya bu?” mungkin ini adalah
pertanyaan kesekian kali yang tak akan pernah bosan ditanyakan olehnya setiap
hari pada ibu warung itu.
Sutini, ibu warung itu hanya menggeleng dengan tersenyum
iba. Bagaimana tidak, setiap hari gadis ini selalu menunggu seseorang yang
kedatangannya tak pernah pasti, seseorang yang entah dimana keberadaanya, atau
bahkan seseorang yang mungkin tlah melupakannya. Sambil membawakan minuman, Sutini
duduk sembari menghela napas. Sejenak keheningan terasa saat keduanya hanya
saling menatap seakan mengerti pembicaraan satu sama lain.
“neng neng.. neng tuh masih umur 18 tahun, neng bisa ko
cari yang lebih. Ngapain ngabisin waktu disini” katanya hati-hati takut-takut
menyinggung perasaan gadis bertubuh mungil ini
Cinta menoleh dan mendapati Sutini sedang tersenyum iba
padanya. “entahlah bu. Apa aku salah kalau aku cuma mau dia sebagai tokoh utama
dalam setiap cerita bahagia dan sedihku. Berapa lamapun aku harus menunggu aku
yakin, suatu saat dia pasti datang. Walau dia datang bukan untukku”
Pikirnya melayang pada tiga tahun silam dimana cinta
masih berpihak padanya. Hari itu, bel pulang berbunyi dan semua anak mulai
berhamburan dimana-mana. Entah kenapa hari itu rasanya cinta ingin segera
berbaring di kasur kesayangannya. Tak mau kalah dengan temannya yang sudah
mulai meninggalkan kelas, Cintapun sibuk membereskan buku-bukunya yang
berserakan. Saat mulai memeriksa isi kolong meja, alangkah terkejutnya gadis
itu saat ia dapati sebuah kotak berwarna pink di dalam kolong mejanya yang
menggantikan buku-buku yang selalu setia ada di kolong meja itu. “to my one wing’s angel” begitulah tulisan
yang tertera diatas kotak itu. Kata-kata yang tertera diatas kotak sangatlah
familiar untuk gadis berambut hitam panjang itu.. Ini ga boleh! Segera Cinta
mengambil tas dan menghampiri si pengirim kotak tersebut dan brak! “aww”
pekiknya sambil mendongak kearah sesuatu yang ditabrak tadi dan “kamu yang
ngasih ini?” sontak pertanyaan itu keluar dari mulut mungilnya. Berbagai macam
pikiran mulai berkecamuk.
“iya, aku harap kamu suka” ujarnya sambil tersenyum lebar
menatap mata huzzle milik gadis ini
Entah listrik berapa volt dalam senyum itu membuat hati
seakan tersetrum listrik bertegangan tinggi. Cinta meleleh menyaksikan itu. Ah
itu pasti sesaat.
“maaf aku ga bisa nerima ini” ujarnya sok sinis
“loh tapi kenapa? Kamu ga suka ya?”
“gausah banyak tanya” masih dengan nada sinis sambil
menaruh paksa kotak itu di genggaman tangannya. Tanpa pikir panjang cinta
segera meninggalkan lelaki itu sendiri yang masih berdiri dihadapannya tadi. Cinta
berjalan dengan berbagai pertanyaan
besar yang terus berkecamuk dalam pikirnya, “mengapa dia selalu datang dan
pergi?. Apa semudah itu dia meninggalkan yang katanya kita adalah malaikat
bersayap satu? Setiap hari aku menunggu dia datang tapi tak pernah datang
hingga dia datang disaat aku tlah hampir melupakannya. Apa cinta adalah
permainan untuknya? Saat bosan ia tinggal pergi dan saat butuh ia kembali.
Rasanya percuma menerima cintanya saat dia datang kembali yang toh pada akhirnya
dia juga bakal pergi lagi”. Rasanya memeluknya saat ini adalah hal yang ingin
gadis ini lakukan, tentunya saat senyum mulai terkembang lagi untuknya. Hanya
sia-sia saja mencari rindu disana yang ternyata tidak akan pernah gadis ini
temui namanya dalam ruang rindu pria itu. Iya, dialah sosok pria yang selalu
mengoyak hatinya dengan semua tingkahnya yang tak pernah Cinta mengerti. Mata
sipit yang tak pernah Cinta temui itu baru saja didapati sedang menatapnya yang
entah kapan terakhir ia menatapnya lagi.
“cinta...” suara lelaki itu tampak terengah-engah
memanggilnya. Rupanya pria ini mengejar Cinta yang bayangnya mulai tak terjamah
pandangan. Hal ini, membuat langkah gadis ini terhenti dan menoleh kearah suara
tersebut.
“aku mohon cin, terima ini”
“buat apa ini? Bulan lalu, kamu juga beri aku cincin yang
katanya kamu janji kamu ga akan pergi terus kamu pergi esok harinya dan ga ada
kabar gitu aja. Terus sekarang kamu datang untuk ini? Janji yang sama maksud
kamu?”
“aku sayang kamu” katanya lembut seakan tak menghiraukan pertanyaan gadis yang ia cintai ini, ia tau pertanyaanya mengandung tangis yang akan meledak dalam beberapa saat lagi. Mendengarnya membuat seluruh tubuhnya luluh lantak, Cinta tak dapat bergeming lagi hanya jatuh memeluknya erat. “aku takut kamu pergi, itu aja” bisiku lirih.
“aku sayang kamu” katanya lembut seakan tak menghiraukan pertanyaan gadis yang ia cintai ini, ia tau pertanyaanya mengandung tangis yang akan meledak dalam beberapa saat lagi. Mendengarnya membuat seluruh tubuhnya luluh lantak, Cinta tak dapat bergeming lagi hanya jatuh memeluknya erat. “aku takut kamu pergi, itu aja” bisiku lirih.
Dua bulan berlalu, pria itu pergi tanpa kabar, lagi!
Seperti biasa dia pergi setelah datang. Dia selalu menyapa Juninya dan enyah di
Agustus. Juninya selalu Cinta nanti sebab dalam Juni Cinta selalu percaya dia
datang, tapi tak pernah dia memberikan Agustus untuk Cinta hadiahkan untuknya.
Dan lucunya, sebelum pria itu seakan enyah ditelan bumi, pria itu mengajak
Cinta untuk menemuinya di sebuah Danau dekat sekolah mereka. Sebuah Danau yang
telah menumbuhkan benih cinta diataranya. Sebuah Danau yang menyadarkan pria
itu bahwa pria itu telah jatuh hati. Dan sebuah note kecil telah tertuju pada
Cinta. Sebuah note kecil yang ternyata masih membekas dihati Cinta. Sebuah note
yang bertuliskan “if you say that not time for love, so may I to be your time”.
Sedari pukul 12.00, Cinta sudah bersiap-siap merias diri, padahal janjinya
pukul 04.00 pm. Sesampainya disana, Cinta tak mendapati sosok pria itu sedang
menunggunya. Berjam-jam Cinta duduk disebuah warung kecil dekat danau itu,
tetapi pria itu tak sedikitpun batang hidungnya terlihat. Hingga jingga telah
berganti pekat membuat Cinta menyerah menunggu. Cinta pulang dengan wajah yang
tak bersemangat. Mata huzzlenya yang selalu terpancar dibuatnya redup.
Bulan berganti hingga tahun berganti, Cinta hanya diam
terbelenggu dalam pikirannya tentang pria tersebut. Cinta terus memaki dirinya
bahwa Cinta ingin mencari dia dengan membuang semua rasa egoisnya selama ini.
Ya , egois untuk menerimanya kembali, egois karena takut dia pergi lagi.
Seharusnya Cinta seperti dia berjuang mempertahankan ini, bukan membuang. Hingga
saat Juni yang tak pernah membawanya kembali sampai saat ini.
Hari hampir gelap, Cinta tau, ini waktunya pulang. Walau
dewi malam akan segera keluar dari peraduannya, danau ini tidak pernah sepi,
selalu ramai sepanjang mata memandang. Lampu taman membuat suasana semakin
hidup. Banyak para pengunjung yang justru malah berkunjung diwaktu malam karena
pemandangan yang sangat menarik hati. Cinta berpamitan pada Sutini. Dengan hati
yang mungkin telah cukup lelah, lagi-lagi Cinta berjalan menuju parkiran dengan
wajah yang tertunduk. Seorang pria dengan motor sport berwarna hijau berhenti
tepat di depan matanya. Membuat Cinta sejenak menghentikan langkahnya dan
mendongak melihatnya. Cinta menunggu, menerawang siapa pria tersebut. Entah
kenapa hatinya gusar. Pria itu melepaskan helmnya dan berlalu melewati Cinta yang
tengah berdiri mematung tak jauh darinya. Ya, itulah pria yang selalu ia
tunggu. Dia telah datang! Dia telah datang, tetapi Cinta malah bingung entah
harus berbuat apa.
“Cinta” tiba-tiba saja ada sosok suara yang memanggilnya,
mengaburkan semua pikiran yang berkecamuk. Pikiran yang berisi rindu yang tak
pernah tersampaikan.
“Disti..”
“Cinta, aku tau semuanya. Cin, boleh aku bicara sesuatu
sama kamu?”
“iii....ya. ada apa?” ujarnya gugup. Menyadari bahwa yang
berbicara ini tidak lain adalah sepupu dari pria yang dicintainya itu.
“boleh aku minta kamu untuk lupain dia. Biarin dia
bahagia. Soal blog itu...” Disti menghentikan bicaranya sesaat. Mencoba mencari
kata-kata yang tepat dan Cinta tanpa berkedip berhati-hati mendengarkan setiap
kata yang diucapkannya.
“hmm.. kamu pasti udah baca blognya yang berjudul “about love”, itu memang untuk kamu
Cinta. Tapi, itu dulu. Aku mohon sama kamu, untuk berhenti mencintai dia, dia
udah cukup terluka sama kamu. Kamu pikir selama ini dia datang dan pergi tanpa
alasan? Seorang pria, oke yang tentunya kamu tau siapa dia. Yang intinya dengan
berbagai cara dia menghasut Leo untuk jauhin kamu. Dan suatu ketika, hari
dimana kamu menunggu Leo disini, dia kerumahmu dulu. Kamu tau? Dia bertemu
Gilang disana, Gilang bilang kalian akan pergi jalan. Saat itulah Leo bersumpah
tidak akan pernah ganggu hubungan kalian. Leo memilih pergi dengan hati yang
hancur”
“gilang? Tapi kita ga pernah ada apa-apa”
“ya aku tau, belakangan aku ketemu bu Sutini dan dia
menceritakan ini padaku. Tapi percuma, Leo udah bahagia dengan yang lain. Aku
mohon sama kamu, tinggalin Leo, biarin dia bahagia!”
Sebuah kata-kata yang membuat jantungnya berdebar semakin
keras. Tangisnya pecah dalam keheningan. Rindu yang tlah terjawab setelah
sekian lama. Dalam benaknya, ada sebuah untaian yang tak mampu ia utarakan.
“Jika kebahagiaannya
adalah tidak bersamaku, maka aku rela melepaskannya untuk dia yang dapat menggores senyum di
wajahnya. Bagiku dengan menghitung setiap inci kebahagiaan yang mempu membuat
bibir mungilnya tersenyum, kurasa cukup. Buatku, mencintainya seperti punuk
yang merindukan bulan. Jika cintaku membuat dia sakit maka biarkan aku
mencintainya dari kejauhan, dalam diam, dan dalam lamunanku. Orang bilang
mencintainya hanya membuat diri terbelenggu pada masalalu, tetapi bagaimana
mungkin melupakan sedang hati masih terpaut. Bukankah dia pernah berjanji bahwa
dengan siapapun aku atau dengan siapapun dia, pada akhirnya dia akan memilih
aku? Bodoh! Mengapa aku seperti sebuah pisau. Didekatnya aku tajam, sedang jauh
darinya tumpul dibuatnya. Hanya kepatahatian saja jika dia menginginkanku.
Cukuplah mencintainya dari sini, dalam diam penantianku. Mungkin kini aku
menyukai kata-kata seorang sastrawan yang bernama Sapardi Djoko Damono yang
menuliskan bahwa “aku ingin mencintaimu dengan sederhana seperti kayu yang tak
sempat menyatakannya pada api yang menjadikannya tiada”.
0 komentar:
Posting Komentar